SAGITARIUS (Bagian 2)
Kau memulai membawa kabar gembira. Dengan selesainya studimu dan berhasil membawa predikat terbaik, membawamu menuju Badan Antariksa Amerika Serikat. Tapi, kabar baik yang kupunya sama sekali tak kau dengarkan, bahkan kata "Selamat" tak meluncur dari lidahmu yang gemulai.
"Aku akan melanjutkan studiku ke Oxford, mungkin bulan depan aku akan terbang ke Inggris" kata-kataku seperti sembilu yang berusaha mengiris rasi-rasi bintang yang telah lama terangkai dihatimu.
"Akankah hubungan jarak jauh bisa kita pertahankan?" tanyaku, sambil memegang erat tanganmu. Engkau hanya diam seribu bahasa sambil mengamati rasi disudut jagat yang akan semakin mendekati kita.
"Entahlah, karena aku ingin menemui cita-citaku yang terbentang disana" lagi-lagi kau menjawabnya dengan rileks seperti tak ada beban.
Setiap kali aku melihat tayangan berita, kulihat wajahmu menghiasi layar televisi. Engkau menjadi astronout yang akan menerbangkan Shuttle Columbus menuju bulan. Wajahnya dipenuhi dengan seringai kebahagiaan. Meski kini engkau bukan lagi gadis yang ceria menceritakan rasi bintang kepadaku. Tapi rasa cinta dan kebahagiaan itu masih melekat sangat kuat.
Mungkin ini perjalanan yang memang harus ditempuh, alam sudah membesarkan aku untuk selalu bergulat dengan kata-kata yang harus kusulap menjadi mantra yang bisa menyihir ribuan orang. Aku jadi ingat dengan perkataanmu. "Aku ingin menemui penghuni Phoenix". Sungguh aneh, pikiranku melayang pada karya C.S. Lewis. Sastrawan yang membuat sebuah dunia yang mana bintang adalah sesosok manusia yang diberi tugas untuk selalu berpendar, dan jika tiba waktunya bintang itu akan pensiun.
Detik-detik penerbangan begitu menengangkan dan lama, seperti waktu tak bisa berjalan lagi. Hatiku deg-degan setengah mati. Padalah dirimu lah yang akan meluncur menuju bulan. Mungkin seluruh dunia menyaksikannya. Ingin melihat kesuksesan penerbangan Shuttle Columbus yang menelan biaya triliunan dolar itu.
Ponselku berdering, tak tahu siapa yang menghubungi karena tidak ada pengenalnya. "Halo" sapaku. "Halo, Rudi. Ini Sherin" seru suara dari balik Ponsel itu. Aku diam terpaku, tak tahu harus berkata apa kepada seseorang yang hingga kini masih terkenang dihati. "Halo!" seru Sherin meyakinkan bahwa ini adalah benar dirimu. "Aku ingin mengatakan bahwa, aku masih mencintaimu" kata-kata terakhir itu meluncur dengan cepat dan tut, ponselku mati.
Aku masih berdiri mematung, mencoba mencerna kata-kata yang serasa seperti angin nirwana. "Jujur, sebetulnya aku juga masih sayang" gumamku pelan. Aku berjalan menuju sofa depan televisi. Kupandangi detik-detik yang sangat menegangkan itu. Ditambah dengan hatiku yang sedang berbunga karena namaku masih ada dihati seseorang. "Semoga kau selamat" satu harapan tiba-tiba muncul.
Hatiku berkecamuk, karena baru sekarang kamu menghubungiku. Karena sebelum ini hubunganku denganmu sedikit demi sedikit semakin renggang. Dan dengan mudahnya kau mengeratkan hubungan ini.
"Apakah ada yang ingin kau sampaikan?" tanya salah satu reporter wanita yang mengerumunimu ketika kau sudah lengkap dengan pakaian astronout dengan meneteng helm.
"Aku ingin mengatakan sepatah kata kepada seseorang, bahwa aku masih mencintaimu" serumu sedikit tersipu. "Siapakah sesorang tersebut?" tanya reporter yang lain. "kalian tak perlu tahu. Karena yang kumaksud sendiri sedang melihatku, dan aku tahu dia paham dengan maksud dari ucapanku" jawabmu dengan senyum yang sepenuhnya mekar, seperti bunga mawar merah yang dalam masa mekar dan harum mewangi.
Mungkin aku adalah sesosok asing yang paling beruntung yang duduk disebuah sofa apartemen sederhana di negeri orang. Aku menyaksikan semburan asap yang sangat besar diknalpot Shuttle itu. Meski sudah terbang di Atmosfer, semburan api yang menimbulkan asap itu masih nampak jelas. Seperti kembang api yang tercipta sangat besar, bahkan sangat mewah untuk merayakan tahun baru.
Detik demi detik kulihat Shuttle itu meluncur tinggal awak kapalnya. Seperti pesawat biasa namun memiliki badan lebih besar dan memiliki cerobong tiga yang masih menimbulkan semburat api. Aku bisa membayangkan kecepatannya, yang seperti kecepatan supersonic. Diawak kapal diperlihatkan kinerja para astronout. Kadang kala beberapa diantara mereka mengacungkan jempol mereka.
Tiba-tiba monitor kabur, hilang koneksi. Yang terlihat di tv sekarang hanya gambar seperti jutaan semut yang tertimbun dalam tong. Aku sedikit panik, kucoba untuk menghubungi badan antariksa Amerika. Mereka mengatakan ada sedikit gangguan sinyal. Setelah aku menelepon, tv kembali normal. Terlihat satu per satu astronout mencoba turun untuk menginjak bulan, menapaktilasi jejak kaki Neil Armstrong.
Mereka mengeluarkan berbagai alat untuk behan percobaan. Mereka mengenakan jaket putih yang super tebal dan mengenakan helm yang sangat besar yang belakangnya ada selang penghubung menuju tabung oksigen. "Apa gerangan tujuan utama mereka menuju bulan" batinku tiba-tiba muncul pertanyaan.
********
Aku mununggu dilobi untuk menyambutmu Sherin, kurelakan semua tugas yang membebaniku di Inggris hanya untuk menemuimu. Kucoba untuk menanti semua awak astronout itu turun. Aku tak sabar untuk segera memelukmu, mengecupmu dan akan kuungkapkan bahwa aku akan melamarmu.
Kadangkala kuamati cincin yang kugenggam erat itu. Cincin yang akan melekat erat dijari manismu. Yang pastinya cincin itu hanya ada satu didunia. Rasanya lama aku menunggu, jantungku semakin berdegup kencang, hingga dadaku terasa sakit. Aku mencoba menyenandungkan lagu-lagu yang sering kamu nyanyikan dulu waktu kita berduaan menghabiskan waktu malam untuk mengamati bintang. Aku masih ingat tarian yang kau gunakan untuk mengundang bintang-bintang agar mendekat.
Kulihat para astronout itu mulai muncul dari kabin, tapi kenapa muka mereka tak menunjukkan muka bersuka cita. Aku segera melangkahkan kakiku menuju seseorang astronout itu, namun dia tak terlihat karena banyak reporter yang ternyata lebih siaga daripada aku. Aku mencoba menunggumu saja. Samar-samar aku mendengar ada satu astronout yang meninggal, membuatku panik saja!. Aku mencoba menyusup pada kerumunan itu, kudengar astronout itu meninggal karena kehabisan oksigen. Aneh, jantungku menjadi gugup, sepertinya itu astronoutku. Namun aku ingin melihat secara langsung.
Kulihat astronout itu tergeletak tak berdaya diatas tandu. Bukannya tak berdaya, tapi tak bernyawa. "Sherin" seruku tak percaya. Cincin yang kugenggam kini hancur berkeping-keping. Kulihat engkau meninggal membawa sebuah senyuman yang mekar. Ya, karena kau bisa menemukan cita-citamu meski hanya di bulan.
Bersedih bukanlah yang kuinginkan, namun air mataku terproduksi semakin banyak. Setetesnya kujauhkan untuk mengiringi pemakamanmu, Sherin. Walaupun siang, kulihat disudut sana. Phoenix, Hercules, Pegasus berpendar. Dan Sagitarius memancarkan sinarnya yang paling terang, tapi terlihat hampa.
09 April 2010.