KIAI GèDé
Pagi buta, Matahari masih nampak bayang-bayang. Pejantan berkokok, saling bersahutan, untuk memikat sang betina pujaan hati. Untuk bisa mereka ajak membuat keturunan. Suatu hegemoni alam yang selaras dengan kanyataan. Suatu kestabilan alam yang belum goyah. Berbeda dengan majikannya, yang telah teracuni oleh suatu faham yang menyeleweng. Sehingga kestabilan alam mulai serong. Kadang naik kadang turun. Ya…. Majikannya sendiri sudah tak bisa menerima sasmita alam, sudah tak bisa membaca pergerakan bumi karena ulah sendiri. Meski begitu, majikan ini selalu memamerkan sesuatu yang nampak mewah namun belum pasti fungsinya.
Kedudukanku disini adalah anak desa yang masih duduk dibangku satu Diniyah. Kau tahu? Disini tak ada pendidikan formal. Lebih tepatnya ada, tapi kau harus berjalan sepanjang sepuluh kilo. Karena dukuh ini begitu kecil, dengan jumlah kepala keluarga yang hanya tigapuluh lima. Ditambah dengan letaknya yang ditengah hutan, dan dipucuk gunung. Penduduk sini menganut faham Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun masih écék-écék. Kau tahukan, masih karbitan. Bagaimana tidak, Islam masuk disini kira-kira baru sebulan yang lalu. Oleh seorang yang mempunyai perawakan yang menakutkan. Bahkan awalnya aku sendiri takut menatapnya. Tapi setelah mendengar tutur katanya yang halus. Semua yang kubayangkan langsung sirna.
Aku duduk dibangku diniyah sendiri baru dua minggu yang lalu. Jumlah anak-anak disini sendiri hanya duabelas jiwa. Sekawanan pemain yang hanya bisa bermain rikala semuanya berkumpul. Kini duabelas jiwa itu duduk dibangku yang sama. Dalam tingkat yang sama. Meski mereka kurang faham apa yang mereka lakukan itu. Dan untuk apa?
Pak Aziz. Itu nama dari pendatang baru yang membawa ajaran baru bernama Islam. Kedatangannya ibarat dewa kahyangan membawa kabar gembira untuk mengakhiri musim paceklik. Karena dia begitu meneguhkan, meyakinkan dan yang kusukai adalah dia selalu memberi semangat.
Ilmu, Pemahaman, Keyakinan. Ah...... semuanya kudapat dengan mudah. Betapa mudah pula masyarakat dipengaruhi dengan keyakinan ini. Aku bukannya menganggap salah ajaran ini. Tapi sikap warga yang begitu mudah goyah. Dengan segala iming-iming akan surga dan seisinya, dengan neraka sebagai sesuatu yang ditakuti. Sungguh! Itu bukanlah yang kuinginkan yang ada pada mereka. Yang kuinginkan...... mereka ikhlas melakukan segalanya, tanpa ada harapan apapun karena hakikatnya semua yang terjadi pada kita adalah anugrah.
Meski banyak orang menganggapku aneh, tapi Pak Aziz selalu meneduhkan hatiku. Agaknya beliau tahu isi hatiku. "Makrifat" kata itu yang sering dibisikkan ditelingaku. Aku sendiri tak paham apa maksudnya. Setiap aku bertanya, beliau hanya bertanya dan mengusap kepalaku dengan lembut. Hingga suatu saat aku merengek ingin dikasih tahu. Jawabannya, aku disuruh membaca Al-Qur'an satu juz.
Seiring berjalannya waktu, kini aku menjadi remaja yang menjadi ajudan pak Aziz. Setiap hari aku selalu mengajar ngaji dengan anak-anak kecil. Kehidupanpun semakin cerah, cahaya Islam makin terlihat jelas. Kini warga menjadi mengetahui Islam secara mendalam, meski kadang-kadang ada beberapa kegiatan adat yang dikolaborasikan dengan Islam. Aneh juga, awalnya aku tak setuju dengan hal semacam itu. Kenapa? Karena Islam adalah keyakinan. Sedangkan adat adalah suatu kebiasaan yang telah dilakukan sejak dulu yang dianggap benar.
Ahhh. Semakin lama aku semakin bingung dengan jalan pikiranku, bahkan aku menganggap diriku gila. Aku tak sanggup memikirkan hal yang sebesar itu. Hingga aku harus melayang menuju tanah Jawa. Butuh waktu seminggu untuk menginjak pesisir tanah Jawa. Asing! Itulah yang melintas dikepalaku pertama kali melihat tanah Jawa. Banyak sekali bangunan-bangunan aneh yang menjulang tinggi, berbeda sekali dengan longkali, kabupaten yang masih hijau tanpa polusi.
Jakarta oh Jakarta, sehari menduduki tanahmu, bagai hidup ditanah yang gersang selama setahun. Aku belum menemukan alamat tujuanku karena aku kecopetan. Tepatnya aku ditodong oleh seberandalan preman. Hingga tubuhku sakit semua karena terkena bogem mentah dari tangan mereka yang kekar. Dunia memang membuat mereka buta akan dosa. Ya... itulah tanggapan pertama yang kualami. Kini, aku merana. Kantong kosong. Perut kosong. Semua serba kosong. Hanya hatiku yang masih berisi.
Entah angin apa yang membawaku untuk singgah dulu di Masjid. Waktu itu pukul empat sore, aku duduk-duduk diteras masjid untuk melepas penat. Datanglah bapak-bapak, menawariku pekerjaan sebagai kuli pabrik. Maklum ya, aku orang pelosok jadi hal semacam itu kuterima tanpa memikirkan jangka panjangnya. Aku diangkut menggunakan mobil jeep.
Aku bersyukur karena belum menjadi korban. Kau tahu, ah.. aku sangat malu untuk mengatakannya. Tapi jika tak kukatakan, aku akan dianggap munafik. Penolongku itu seorang germo yang melayani om-om yang kelainan seks. "Astaghfirullah" seruku tiada henti, aku selamat karena kompleks mesum yang super duper terkutuk itu terjadi kebakaran. Jakarta menjadi saksi dimana aku selalu tidur dikolong jembatan, diemperan toko, dipinggir jalan. Dan gebukan satpol pp menjadi makananku setiap kali ada razia, dan kini profesiku menjadi pengamen. Ya.... kini aku melupakan sholat, mengaji, bahkan bertasbihpun aku tak pernah. Aku lupa dengan yang namanya Tuhan.
KAFIR! Seru seseorang yang telah mendengar cerita hidupku. Aku sendiri sering kontra dengan orang itu. Tapi entah kenapa aku bisa curhat dengannya. Hingga dia menyeretku kedalam kamar mandi dan mengguyuri diriku dengan air yang digayungnya. Aku menjerit meronta, namun semakin aku melakukannya semakin erat pula pegangannya. Aku tak tahu kenapa aku diberlakukan seperti ini. Hingga aku sadar bahwa benarlah yang dilakukan orang ini. Dia membuatku sadar akan Islam yang lama kulupakan karena perkara dunia.
Orang itu sendiri yang telah menampungku selama seminggu Meski tinggal diperkampungan kumuh, orang itu tak pernah bau, karena dia seorang guru ngaji. Ngomong-ngomong tentang nama, dia memperkenalkan dirinya bernama Nur Mufidz. Sesosok yang kecil dengan tinggi sebahuku dan dengan wajah yang kecil, seperti baby face, padahal umurnya sudah duapuluh delapan tahun. Matanya menonjol karena sering membaca sampai larut malam. Dan pipinya tirus karena sering puasa. Tapi dibalik kepalanya itu tersimpan sejuta kejeniusan.
Datang suatu pagi mobil jazz merah marun yang diparkir didepan rumah Bang Mufidz. Keluar beberapa lelaki yang berbadan tegap dengan seragam yang mirip aparat keamanan. Perawakan mereka sama, hanya saja yang mencolok adalah yang satu orang mengenakan kacamata minus. Dari dekat aku bisa membaca tulisan lengannya. "Banser" apa itu? Kata itu bertanya dibenakku. Mereka saling berbisik dengan Bang Mufidz. Hingga datang pertanyaan "Siapa gerangan Bang Mufidz ini, aku sama sekali tak kenal dengan dia, bahkan aku berjumpa dengannya hanya diwaktu pagi dan malam. Setelah itu dia melayang pergi entah kemana. Sementara aku hanya boleh duduk manis dirumah" Su'udhon seperti itu melintas, melayang berseliweran berkali-kali dikepalaku.
Terlihat wajah Bang Mufidz serius bercampur sedih. Lalu Bang Mufidz bangkit dan masuk kedalam kamar. Beberapa menit kemudian Bang Mufidz keluar dengan mengenakan baju koko putih dan sarung putih dan songkok putih. Semua serba putih, putih, dan putih. Dia menggenggam sesuatu yang putih juga. "Odie', pake ini" ujar Kang Mufidz kepadaku seraya menyodorkan pakaian yang seba putih pula.
Kami berlima, tepatnya lima sekawan naik mobil jazz meluncur entah kemana. Yang pasti keempat orang ini sudah tahu tujuannya. Hanya aku saja yang belum tahu. Mobil itu menelusuri gang-gang sempit, hingga menuju jalan utama menuju luar kota Jakarta. Dalam plang kudapati menunjukkan arah menuju Bandara Halim Perdanakusuma. "Bang, kita mau kemana?" tanyaku cemas, aku tak ingin kejadian dimasa lalu itu terulang kembali. "Tenanglah, kita akan terbang menuju Semarang" jawabnya yang terlihat tegang. Aneh sekali dengan gerak-gerik Bang Mufidz, nampak sekali bahwa ada yang disembunyikan.
Dengan gerakan kilat kucoba untuk melarikan diri, tapi gagal. Karena dengan cepat pula salah satu Banser itu tlah mencengkeram kerah bajuku. Meski dengan gerakanku ini Bang Mufidz tak bergeming sama sekali, seakan-akan tak peduli dengan diriku.
Tiga jam kemudian pesawat Garuda landing di Bandara Ahmad Yani. Dan dua jam melangkah dengan kecepatan tinggi aku dan Bang Mufidz sampai ditempat yang sangat ramai. Tapi aku tahu, ini acara kematian, ada yang tlah meninggal. Aku berjalan mengiringi Bang Mufidz. Setiap langkahku, aku mendengar bisik-bisik mengenai diriku. Siapa aku? Darimana aku? Bagaimana bisa aku berjalan bersampingan dengan Gus Mufidz?
Gus? Apakah benar Bang mufidz putra seorang kiai. Dalam otakku melayang pertanyaan itu berkali-kali. Hingga aku duduk dikursi depan rumah untuk membiarkan Bang Mufidz masuk kedalam.
Seminggu aku tinggal di desa yang bernama Kajen. Bukan tanpa alasan, karena disini aku mengikuti seseorang yaitu Bang Mufidz, sulit rasanya menggunakan kata Gus untuk Bang Mufidz karena faktor kebiasaan. Dan aku baru tahu kalau Bang Mufidz ini putra tunggal salah satu dari Kiai besar Indonesia. K.H. Abdurrohim Wahid. Sesosok kiai yang menjadi politisi terkenal di Indonesia, yang sejak kecil aku menjadi pengagum beliau, karena kejeniusannya dan dengan segala tingkah lakunya yang sangat rakyatisme.
Sejak kecil aku selalu mendambakan bertemu dengan beliau. Sejak kecil aku selalu ingin mengaji dengan beliau. Hingga aku sering bermimpi bertemu dengan beliau. Tapi itu tak nyata. Yang nyata adalah separuh hidupku di Jakarta, aku tinggal bersama putra beliau. Yaitu Bang Mufidz, kini Bang Mufidz menjadi pengganti Abah Durrohim, begitulah beliau akrab dipanggil.
Dengan sekejap aku menjadi orang terkenal karena mengetahui kehidupan dari Bang Mufidz, meski aku tak menginginkan itu. Karena yang kuinginkan, aku bisa mengaji disini. Biarpun tidak dengan sesosok yang kukagumi, cukuplah putranya sebagai pengganti. Karena Bang Mufidz sendiri mempunyai wibawa yang sangat besar.
Hingga datang fajar yang indah yang mengakhiri hidupku. Aku menyusul Abah Durrohim. Dengan kanker yang menyerang tubuhku, yang mengikis diriku bertahun-tahun. Yang dulu kuanggap penyakit orang miskin.