Nasi Tempe
“Nak, ayo. Cepetan buka” kamu membujukku untuk makan setelah seharian menahan diri.
“Nggak mau, masakan ibu nggak enak. selalu nasi tempe!” sergahku kesal. Kubenamkan kepalaku pada bantal.
“Tapi nak, kita patut bersyukur karena bisa berbuka. Coba kita lihat orang-orang yang,” belum selesai kamu berkata, kupotong dengan amarahku.
“Udahlah! Nggak ada gunanya ibu berkata seperti itu” seruku marah sambil membanting bantal dan berlari pergi.
Terakhir aku menoleh. Kulihat kamu menangis seraya memanggil-manggil namaku. Memintaku untuk kembali, tapi aku tak menggubrisnya.
Suasana makin gelap. Adzan maghrib sudah lenyap. Kini kuberjalan sendirian di tengah-tengah kebun ketela. Aku teringat ajaran guruku, bahwa orang pertama yang harus dihormati adalah ibu, bahkan harus tiga kali lebih besar rasa hormatnya ketimbang bapak.
Tak terasa, air mataku meleleh. Aku mengutuki diriku karena mendurhakaimu. Kuberlari sekencang-kencangnya. Sesampainya di rumah, kubersimpuh di depanmu, kukecup tanganmu hingga tanganmu basah dengan peluh tangisku. Beribu-ribu maaf kuucapkan. Kamu memelukku penuh kehangatan.
“Maaf ibu, selama ini aku buta dengan pengorbananmu” isakku dipelukanmu.
“Sudahlah, semuanya sudah ibu maafkan” balasmu penuh arti.
Kamu mengajakku berbuka. Menyuapiku sesuap demi sesuap. Oh ibu. Kini, tempe terasa nikmat di bumbui senyummu yang tulus, selamanya selalu nikmat. Aku tak ingin membuatmu menangis lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar